Authentication
185x Tipe DOCX Ukuran file 0.05 MB Source: tiarramon.files.wordpress.com
Bahan Kuliah Hukum Perdata BAB VII PERIHAL PEMBUKTIAN DAN LEWAT WAKTU A. Pembuktian Sebenarnya soal pembuktian itu termasuk hukum acara (procesrecht) dan tidak pada tempatnya dimasukkan dalam KUH Perdata, yang pada asasnya hanya mengatur hal-hal yang termasuk hukum materil. Tetapi memang ada suatu pendapat, bahwa hukum acara itu dapat dibagi lagi dalam hukum acara materil dan hukum acara formil, Peraturan tentang alat-alat pembuktian, termasuk dalam hukum materil, yang dapat juga dimasukkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata materil. Pendapat ini rupanya dianut oleh pembuat undang-undang pada waktu KUH Pedata dilahirkan. Untuk bangsa Indonesia peraturan perihal pembuktian ini telah dimasukkan dalam H.I.R (Herzeine Indonesische Reglement) atau RBg (Reglement voor de Buitengewesten) yang memuat hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri. Pertama-tama diperingatkan, bahwa dalam pemeriksaan di depan hakim hanyalah hal-hal yang dibantah sajalah pihak lawan yang harus dibuktikan. Hal- hal yang diakui kebenarannya, sehingga kedua belah pihak yang berperkara tidak ada perselisihan. Oleh karena itu, sebenarnya tidak tepat kalau undang- undang menganggap “pengakuan” juga sebagai suatu alat pembuktian. Sebab hal-hal yang diakui kebenarannya, oleh hakim harus dianggap terang dan nyata, dengan membebaskan si penggugat untuk mengadakan suatu pembuktian. Juga hal-hal yang dapat dikatakan sudah diketahui oleh setiap orang (“notoire feiten”) atau hal-hal yang secara kebetulan sudah diketahui sendiri oleh hakim, tidak perlu dibuktikan. Sebagai pedoman, diberikan oleh Pasal 1865 KUH Perdata bahwa “Barangsiapa mengajukan peristiwa-peristiwa atas nama ia mendasarkan suatu hak, diwajibkan membuktikan peristiwa-peristiwa itu; sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa guna pembantahan hak orang lain, diwajibkan juga membuktikan peristiwa-peristiwa itu. Misalnya, jika seorang menggugat seorang lain supaya orang yang dihukum menyerahkan sebidang tanah, karena benda itu termsuk harta peninggalan ayahnya, tetapi pendirian ini disangkal oleh tergugat, maka orang yang menggugat itu diwajibkan membuktikan bahwa ia adalah ahli waris dari si peninggal dari tanah tersebut betul kepunyaan si peninggal itu. Jika ia telah berhasil membuktikan hal-hal tersebut dan pihak Tiar Ramon, SH., MH Fak. Hukum UNISI 2015 Page 1 Bahan Kuliah Hukum Perdata tergugat masih juga membantah haknya karena katanya ia telah membeli tanah tersebut secara sah, maka tergugat ini diwajibkan membuktikan adanya jual beli itu. Begitu pula, seorang yang menggugat istrinya supaya perkawinan mereka dipecahkan berdasarkan alasan bahwa istrinya telah berbuat zina, maka jika pendirian itu disangkal, diwajibkan membuktikan adanya perbuatan zina itu. Banyak perkara gugutan gagal didepan hakim oleh karena pihak penggugat tidak berhasil membuktikan pendiriannya yang disangkal oleh pihak tergugat. Menurut undang-undang ada 5 (lima) alat pembuktian yang sah, yaitu : surat-surat, kesaksian, persangkaan, pengakuan dan sumpah. 1. Surat-surat Menurut undang-undang, surat-surat dapat dibagi dalam surat-surat akte dan surat-surat lain. Surat akte ialah suatu tulisan yang semata-mata dibuat untuk membuktikan sesuatu hal atau peristiwa, karenanya suatu akte harus selalu ditanda tangani. Surat-surat akte dapat dabegi lagi atas surat-surat akte resmi (authentiek) dan surat-surat akte di bawah tangan (onherhands). Surat akte resmi ialah suatu akte yang di buat oelh atau dihadapan seorang pejabat umum yang menurut undang-undang ditugaskan untuk membuat surat-surat akte tersebut. Pejabat umum yang dimaksudkan itu ialah notaris, hakim, juru sita pada suatu Pengadilan, Pegawai Pencatatan Sipil (Ambtenaar Burgerlijke Stand) dan sebagainya. Dengan demikian, suatu akte notaris, suatu surat putusan hakim, suatu proses-verbal yang dibuat oleh sesaorang juru sita dan suatu surat perkawinan yang dibuat oleh Ambtenaar Burgerlijke Stand adalah merupakan akte-akte resmi atau otentik. Jika suatu akte mengandung keterangan-keterangan dari dua pihak yang menghadap di depan seorang notaris, sehingga notaris ini sebenarnya hanya menetapkan saja apa yang diterangkan oleh orang-orang yang menghadap itu sendiri, maka akte itu dinamakan “partij-akte” misalnya, jika dua orang mengadakan suatu perjanjian di depan notaris. Jika suatu akte mengandung suatu pemberitaan atau prsses-verbal tentang suatu perbuatan yang telah dilakukan oleh seorang notaris atau seorang juru sita, maka akte itu dinamakan “prosesverbal-akte”. Misalnya jika seorang notaris atau juru sita membuat suatu akte tentang suatu lelangan atau suatu penyitaan harta benda. Tiar Ramon, SH., MH Fak. Hukum UNISI 2015 Page 2 Bahan Kuliah Hukum Perdata Menurut undang-undang suatu akte resmi mempunyai suatu kekuatan pembuktiam yang sempurna (volledig bewijs), artinya apabila suatu pihak mengajukan suatu akte resmi, hakim harus menerimanya dan menganggap apa yang dituliskan di dalam akte itu, sungguh-sungguh telah terjadi, sehingga hakim itu tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian. Suatu akte di bawah tangam ialah tiap akte yang tidak dibuat oleh atau dengan perantaraan sseorang pejabat umum. Misalnya surat perjanjian jual beli atau sewa-menyewa yang dibuat sendiri dan ditanda tangani sendri oleh kedua belah pihak orang mengadakan perjanjian itu. Jika pihak yang menandatangani surat perjanjian itu mengakui atau tidak menyangkal tandatangannya,berarti ia mengakui atau tiadak menyangkal kebenaran apa yang tertulis dalam surat perjanjian itu, maka akte dibawah tangan itu memperoleh suatu kekuatan pembuktian yang sama dengan suatu akte resmi. Akan tetapi jika tandatangan itu disangkal, maka pihak yang mengajukan surat perjanjian tersebut diwajibkan untuk membuktikan kebenaran penandatanganan atau isi akte tersebut. Ini adalah suatu hal yang sebaliknya dari apa yang berlaku terhadap suatu akte resmi. Barang siapa menyangkal tanda tangannya pada suatu akte resmi, diwajibkan membuktikan bahwa tanda tangan itu palsu, dengan kata lain, pejabat umum (notaris) yang membuat akte tersebut telah melakukan pemalsuan surat. Oleh undang-undang ditetapkan bahwa suatu “cap jempol” yang ditaruh di atas suatu akte di hadapan notaris hakim atau pegawai Pamongpraja, yang mengenal orang yang menghadap itu atau telah diperkenalkan, dipersamakan dengan suatu tanda tangan. Notaris atau penjabat lainnya itu, harus menuliskan suatu keterangan yang bertanggal, bahwa isi akte yang dibubuhi cap jempol itu telah dibacakan kepada orang yang membubuhkan cap jempol itu dan cap jempol tersebut dibubuhkan dihadapannya. Surat akte di bawah tangan yang berisikan suatu pengakuan berhutang karena telah menerima pinjaman sejumlah uang tunai harus seluruhnya ditulis sendiri dengan tangan si penanda tangan atau setidak-tidaknya di bawahnya ada tertulis dengan tangannya sendiri suatu persetujuan mengenai jumlah uang tersebut, yang ditulis dengan huruf. Jika ada perselisihan antara jumlah yang tertulis di dalam naskah akte dan jumlah yang tertulis di bawah akte itu, maka yang harus dianggap benar ialah jumlah yang paling sedikit, kecuali tententunya jika dapat dibuktikan sebaliknya. Tiar Ramon, SH., MH Fak. Hukum UNISI 2015 Page 3 Bahan Kuliah Hukum Perdata Oleh karena pembuktian dengan suatu akte memang suatu cara pembuktian yang paling utama, maka dapatlah dimengerti mengapa pembuktian dengan tulisan ini oleh undang-undang disebutkan sebagai cara pembuktian nomer satu. Begitu pula dapat dimengerti mengapa undang- undang untuk beberapa perbuatan atau perjanjian yang dianggap sangat penting mengharuskan pembuatan suatu akte. Misalnya perjanjian perkawinan, pemberian/hibah (schenking) benda-benda yang tertulis atas nama, perjanjian hypotheek pendirian perseroan firma atau perseroan terbatas (N.V.) diharuskan dengan akte notaris, sedangkan perjanjian perdamaian (Dading) dan perjanjian asuransi setidak-tidaknya harus dengan suatu tulisan. Berbagai tulisan-tulisan lain, artinya tulisan yang bukan akte, seperti surat, faktur, catatan yang dibuat oleh suatu pihak dan sebagainya yang kekuatan pembuktiannya diserahkan pada pertimbangan hakim, hakim leluasa untuk mempercayai atau tidak mempercayai kebenarannya 2. Kesaksian Sesudah pembuktiam dengan tulisan, pembuktian dengan kesaksian merupakan cara pembuktian yang terpenting dalam suatu perkara yang sedang diperiksa di depan hakim. Suatu kesaksian, harus mengenai peristiwa-peristiwa yang dilihat dengan mata sendiri atau yang dialami sendiri oleh seorang saksi. Jadi tidak boleh saksi itu hanya mendengar saja tentang adanya, peristiwa dari orang lain. Selanjutnya tidak boleh pula keterangan saksi itu merupakan kesimpulan-kesimpulan yang ditariknya sendiri dari peristiwa yang dilihat atau dialaminya, karena hakimlah yang berhak menarik kesimpulan-kesimpulan itu. Misalnya saja, seorang saksi menerangkan bahwa ia melihat pihak penggugat telah menyerahkan sejumlah uang kepada pihak tergugat, atau ia melihat tergugat minum beberapa botol bier. Tetapi tidak boleh ia menerangkan bahwa tergugat “berhutang” pada penggugat atau tergugat berada dalam “keadaan mabuk” ketika ia membuat perjanjian dengan pengugat, karena keterangan- keterangan yang belakangan ini merupakan kesimpulan-kesimpulan dari suatu peristiwa yang dilihatnya. Kesaksian bukanlah suatu alat pembuktian yang sempurna dan mengikat hakim, tetapi terserah pada hakim untuk menerimanya atau tidak. Tiar Ramon, SH., MH Fak. Hukum UNISI 2015 Page 4
no reviews yet
Please Login to review.