Authentication
193x Tipe PDF Ukuran file 0.37 MB Source: susastra.fib.ui.ac.id
SASTRA, CITIZEN, NETIZEN1 Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono Guru Besar Ilmu Susastra pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia Sastrawan, Karya Sastra, Pembaca Sastra tidak jatuh dari langit, tetapi diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dihayati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Ada tiga pihak yang terlibat dalam proses tersebut: sastrawan, karya sastra, dan pembaca. Sastrawan dan pembaca adalah anggota masyarakat. Mereka terikat oleh kelompok sosial tertentu yang menyangkut pendidikan, agama, adat istiadat, dan segenap lembaga sosial yang ada di sekitarnya. Mereka kita anggap memiliki kaitan-kaitan – kalau tidak boleh dikatakan keterikatan – dengan konsep-konsep teritorialisme, primordialisme, dan sektarianisme. Sastrawan, karya sastra, dan pembaca tercakup dalam masyarakat – semua itu membentuk struktur kesusastraan yang sekaligus menjadi substruktur masyarakat. Setiap kali dalam masyarakat terjadi perubahan, yang memang selalu terjadi demi keberlangsungan keberadaannya, semua unsur dalam strukturnya akan mengalami perubahan juga. Sosiologi sastra mendekati karya sastra berdasarkan situasi semacam itu. Yang menjadi pegangan pengertian tentang sastra adalah bahwa yang dimanfaatkan dan diciptakan sastrawan untuk menyampaikan dongengnya adalah bahasa verbal, meskipun perkembangan sebelum kita mengenal aksara yang menjadi urusan sastrawan tidak hanya bunyi tetapi juga gerak-gerik dan mungkin sekali juga gambar atau ujud visual lain. 1 Naskah ini adalah semacam rancangan catatan atau rancangan dari sebuah karangan yang sedang disusun untuk melengkapi buku Sosiologi Sastra, yang sejak terbit pertama kali tahun 1978 telah mengalami revisi dan cetak ulang beberapa kali, terahir tahun 2015. Pemikiran di dalamnya diramu dari berbagai sumber yang akan terus dikembangkan sampai terbentuk pandangan yang lebih utuh tentang arah sosiologi sastra di masa datang. 1 Bahasa yang jenisnya berbagai-bagai itu menyalurkan niat sastrawan untuk menyampaikan dongeng, yang bisa berujud apa saja yang dalam bahasa sekarang kita menyebutnya antara lain puisi, novel, drama, dan cerpen. Dalam bahasa kita, atau bahasa Jawa yang saya kenal, dongeng mencakup semua jenis itu – dan bahkan cukup aman dikatakan bahwa dongeng pada dasarnya mengaburkan batas tegas antara fakta dan fiksi. Mendongeng bisa berarti menyampaikan berita yang kita klasifikasikan sebagai fakta, tetapi juga cerita yang biasanya dianggap fiksi. Kebetulan jarak antara berita dan cerita hanya selangkah, yakni dari b ke c, kalau kita mengikuti abjad Latin. Dalam bahasa kita tidak dikenal istilah khusus utuk folklore, legend, myth, dan sebagainya. Petualangan Kancil disebut dongeng Kancil, demikian juga cerita tentang Joko Tarub yang mengakali bidadari dan Prabu Watu Gunung yang menaklukkan Kahyangan. Kedua cerita yang disebut terakhir itu dicantumkan dalam Bahad Tanah Jawi, kitab yang dianggap sebagai sejarah, yang juga mencakup peristiwa-peristiwa yang menyangkut peperangan antara kelompok orang Belanda, Cina, dan Jawa yang oleh sejarawan bisa saja dianggap sebagai pernah benar-benar terjadi – yang biasa dikenal sebagai sejarah. Demikianlah maka sastra kita berkembang berdasarkan konsep-konsep yang datang dari kebudayaan lain: kisah, gurindam, sejarah, hikayat, puisi, prosa, drama – misalnya – telah membentuk kesusastraan modern kita sejak awal perkembangannya. Segala konsep itu pada hakikatnya adalah bentuk penyampaian belaka, yang memiliki ciri berbeda berdasarkan ujud visual dan auditorinya. Bunyi dan tampilan visual itulah sebenarnya yang terutama membedabedakan masing- masing konsep itu sedangkan yang disampaikan tidak lain dan tidak bukan adalah dongeng. Soneta, misalnya, memiliki tampilan visual dan tata bunyi yang berlainan dengan gurindam; masing-masing bisa dirakit untuk menyampaikan dongeng yang berbeda kepentingannya. Kedua jenis sastra tersebut dibedakan berdasarkan tampilan visualnya: soneta terdiri atas 14 larik, gurindam dua larik, syair, yang berasal 2 dari kebudayaan Arab, disusun dalam empat larik. Dengan demikian bisa saja kita simpulkan bahwa pembedaan dan pembagian jenis-jenis itu tentunya muncul ketika kebudayaan kita sudah meninggalkan tradisi lisan dan masuk ke tradisi aksara, meskipun kelisanan tetap saja menjadi segi yang tidak bisa dipisahkan. Dalam tradisi lisan sama sekali tidak dikenal konsep larik dan bait, pikiran bahwa pantun disusun dalam empat larik adalah konep yang sepenuhnya didasarkan pada tradisi tulis – ketika pantun dilisankan tidak pernah terbayang adanya pembagian ujud visual tersebut. Karya Sastra Kita mulai dengan benda budaya yang dihasilkan sastrawan. Soneta, sebagai contoh, jenis puisi yang terdiri atas 14 larik, bisa dikelompokkan menjadi beberapa bait; soneta Petrarka berbeda dengan soneta Shakespeare, misalnya. Namun jenis itu disebut soneta tidak hanya karena jumlah lariknya tetapi juga sebab ditata dalam cara pengaturan bunyi tertentu dalam masing-masing baitnya. Aspek visual puisi tersebut berubah sama sekali menjadi rentetan bunyi yang menghapus cara pengaturan aksara, kata, kalimat, larik, dan segenap tanda baca yang tentunya mula- mula diciptaan untuk justru untuk menekankan pentingnya aspek bunyi dalam tampilan visual. Dalam sastra, penemuan dan pemanfaatan penulisan dan pencetakan dongeng membuktikan bahwa teknologi, yang tidak lain adalah the way people do things, kata François Sigant, diciptakan agar dongeng bisa disampaikan dengan cara yang terus-menerus diubah dan dikembangkan. Dalam tradisi lisan, tidak mungkin orang Italia membayangkan soneta, misalnya, sebagai suatu jenis puisi yang sepenuhnya disusun berdasarkan ujud visual yang ketat. Di atas kertas atau lembaran yang rata, soneta memiliki ujud yang tidak akan bisa dibayangkan penyair yang hidup dalam tradisi lisan, yang pasti tidak akan mampu membayangkan ujud visual yang rapi seperti soneta. 3 Pantun berasal dari tradisi lisan yang kemudian kita ‘paksa’ menjadi tradisi tulis. Aspek bunyi yang ketat dalam pantun kita ubah menjadi unsur-unsur visual yang pada gilirannya menyebabkan kita mengelompokkannya sebagai bagian dari tradisi tulis dan cetak. Proses bunyi ke aksara itu berbeda dengan apa yang terjadi dengan tembang, jenis puisi yang tampaknya sejak awal memang sudah ditata sebagai hasil tradisi tulis yang justru mensyaratkan penyampaian lisan. Penataan visual tembang Jawa yang sangat ketat didasarkan pada karakteristik bunyi yang dimanfaatkan untuk menjaga agar tembang tidak bisa disusun menyimpang dari keketatan aturan penulisannya, tetapi yang justru diterapkan agar bisa dilisankan. Dengan demikian, tembang adalah puisi visual yang mensyaratkan penyampaian lisan, berbeda prosesnya dengan pantun yang kita paksa menjadi tampilan visual berdasarkan karakteristik bunyi. Di luar maupun di dalam pendidikan formal, pantun sekarang ini terlebih dahulu ditulis baru kemudian dikembalikan ke habitatnya semula, yakni tradisi lisan. Dalam tembang jumlah larik setiap bait, jumlah suka kata yang berlain- lainan setiap larik, bunyi akhir setiap larik yang pasti dan tidak boleh diubah menyebabkannya menjadi jenis puisi yang sangat rumit persyaratan penyusunan visualnya, yang justru ditata sedemikian rupa untuk mengontrol penyampain lisan yang berkaitan bahkan dengan penataan nada. Perjalanan ulang-alik dongeng dari penyampaian auditori ke penampilan visual dalam dua jenis puisi tersebut sama sekali tidak menyebabkan kita mempertanyakan kemusykilan hakikatnya. Kita menganggap hubungan-hubungan antara aspek-aspek auditori dan visual itu sebagai sesuatu yang wajar, yang memang seharusnya terjadi. Kita sekarang bahkan mungkin tidak menyadari bahwa proses tersebut pada intinya adalah teknologi kata, hal yang dengan panjang lebar telah didiskusikan oleh Walter Ong dalam Orality and Literacy. The Technologizing of the Word. Bunyi diproses sedemikian rupa agar memiliki ujud visual, hanya agar bisa dikembalikan ke bunyi lagi. Keadaan yang sekarang ini kita anggap wajar sebenarnya 4
no reviews yet
Please Login to review.